AN-Nasyaath

AN-Nasyaath

Minggu, 11 Desember 2011

Adab Bersenda Gurau

Bergurau atau bersenda gurau atau bercanda merupakan bagian dari kehidupan manusia dalam lingkungan kecil atau terbatas maupun dalam lingkungan yang lebih besar. Bergurau sebenarnya adalah suatu hal yang lumrah atau biasa-biasa saja bagi manusia sebagai makhluk sosial, sebagai manusia yang membutuhkan manusia lain.
Bergurau memang dapat membuat suasana percakapan atau diskusi secara langsung maupun melalui perangkat teknologi informasi seperti SMS, BBM, milis, dan lainnya. Bergurau memang bisa menjadi lebih hidup, tidak membosankan.
Namun demikian perlu diingatkan bahwa bersenda gurau perlu memenuhi tuntunan agar senda gurau tersebut tidak malahan menjadi bumerang, tidak menjadikan pesenda gurau itu terjerumus kepada dosa dan mengundang kemurkaan Allah SWT. Rasulullah SAW telah mencontohkan bagaimana cara bercanda yang baik.
Ada beberapa adab yang perlu diketahui, dipahami, dan diamalkan dalam bersenda gurau yang disarikan dari beberapa bacaan etika Islam, di antaranya adalah sebagai berikut:
  1. Niat yang baik, menjauhkan diri dari perkataan atau perilaku yang menyalahi ajaran Islam.
  2. Memerhatikan terlebih dahulu lawan bergurau, karena tidak semua orang senang bergurau atau senang dengan gurauan.
  3. Memerhatikan situasi dan tempat, mengingat tidak semua situasi atau tempat orang dapat bergurau seenaknya, atau pantas untuk bersenda gurau: seperti di kantor-kantor yang berurusan dengan mencari keadilan, kebenaran, dan ilmu.
  4. Tidak berlebih-lebihan, melampaui batas kewajaran dalam bersenda gurau, karena dapat dipandang remeh. Khalifah Umar RA pernah berpesan semasa beliau hidup: “Barang siapa yang banyak tertawa, maka akan berkurang wibawanya. Barang siapa berlebihan dalam bersenda gurau, maka dia akan dilecehkan.”
  5. Tidak melakukan kebohongan, kedustaan, dengan dalih bergurau. Dalam hal ini Rasulullah SAW mengingatkan bahwa celakalah orang yang berkata bohong agar orang lain tertawa.
  6. Tidak mencela atau membuat malu seseorang atau pihak tertentu atau profesi tertentu.
  7. Tidak menakut-nakuti orang lain, sebagaimana diingatkan Baginda Rasul dalam satu sabda Beliau.
  8. Tidak menuduh orang lain melakukan perbuatan yang dilarang agama seperti berzina, selingkuh, atau yang sejenis. Misalnya dengan menuduh seseorang sebagai “anak zina” dsb
  9. Tidak bersenda gurau dengan kata-kata atau peragaan yang tidak baik. Seorang muslim seharusnya tidak berkata kotor ataupun keji.
  10. Berupaya untuk tidak berlebihan ketika tertawa.
  11. Berguraulah bersama mereka yang diketahui juga suka bergurau.
Dalam sebuah majelis (pengajian), baik langsung maupun melalui media audio visual/televisi, sering terjadi di mana dainya membuat pendengar/pemirsa tertawa, bahkan sampai terbahak-bahak, dengan canda yang berbau sensasi, dengan tujuan sekadar membuat jemaah, pemirsa, atau pendengar tertawa.
Kita boleh-boleh saja bergurau, tetapi tentunya dengan harapan agar gurauan, candaan tersebut tidak malahan sampai melecehkan ajaran Islam yang sempurna, sehingga dakwah pun menjadi sia-sia.

http://www.equator-news.com/religi/20111119/adab-bersenda-gurau

Bagaimana Menyambut Tahun Baru Islam

Pembaca, insya Allah Sabtu ini 26 November 2011, kita akan mengakhiri tahun 1432 Hijriyah dan mulai sejak azan Magrib pada hari tersebut kita memasuki Tahun Baru 1433 H, tepatnya 1 Muharam 1433 H.
Sebagai umat Islam, tentunya kita perlu bersyukur atas segala nikmat yang telah dan akan diberikan Allah SWT, nikmat yang tak akan ada manusia mampu menghitungnya selama perjalanan hidup setahun, khususnya pada tahun 1432 H. Oleh karena itu tak ada salahnya menyambut kedatangan tahun 1433 H sesuai syariat Islam.
Cara menyambut kedatangan tahun baru hijriyah ini tentu sangat berbeda dengan cara mereka yang non-Islam menyambut kedatangan tahun baru Masehi, setiap 1 Januari.
Menurut sejarahnya, Rasulullah SAW dan para sahabat beliau serta umat terdahulu sebenarnya tidak mengharuskan umat Islam merayakan kedatangan tahun hijriyah. Namun, entah sejak kapan, sebagian umat Islam merayakan kedatangan tahun baru hijriyah dengan mengadakan beberapa acara yang bersifat islami, meskipun terkadang sampai keluar dari ajaran Islam.
Ada beberapa adab yang kiranya perlu dilakukan dalam menyambut kedatangan tahun hijriyah di antaranya:
  1. Niat yang ikhlas mengharapkan keridaan Allah SWT semata;
  2. Mengucapkan syukur kepada Allah atas segala nikmat yang telah dilimpahkan-Nya, nikmat kesehatan dan rezeki, serta bersalawat kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan pengikut beliau. Pada tahun baru ini, kita mensyukuri seluruh nikmat dan karunia yang telah diberikan Allah di tahun sebelumnya agar nikmat tersebut bertambah dan tidak dicabut-Nya.
  3. Membaca doa, berharap dan bermohon kepada Allah SWT agar meridai dan menerima amalan-amalan yang dilakukan sebagai ibadah yang diterima, serta tetap menjadi pengikut Rasullah SAW yang setia hingga akhir hayat, serta tidak kembali keharibaan-Nya kecuali dalam keadaan berserah diri kepada-Nya, sebagaimana yang diperintahkan-Nya kepada kita: “Dan janganlah kamu mati, kecuali dalam keadaan beragama Islam.” (QS Ali Imran 102).
  4. Banyak bertafakur untuk bermuhasabah dengan bertambahnya umur ini, karena sesungguhnya dengan bertambahnya usia, berarti hakikatnya berkurang kesempatan untuk hidup di dunia ini.
  5. Memanfaatkan kehidupan dunia ini dengan sebaik-baiknya untuk mempersiapkan kematian yang khusnul khatimah, atau kehidupan yang abadi; tidak terjebak dengan “permainan” dalam dunia.
  6. Mempersiapkan diri dengan bekal takwa sebagai sebaik-baiknya persiapan dan bekal.
  7. Memelihara dan menjaga diri dari perbuatan syirik, bid’ah, maksiat, dan perbuatan dosa lainnya.
  8. Menghindari pesta pora yang menyalahi ajaran Islam.
  9. Meningkatkan, menganjurkan bersedekah.
Jadikan tahun baru hijriyah untuk selalu mengintrospeksi diri, bersyukur, dan aktivitas hidup di dunia, bekal di akhirat, yang lebih baik dari tahun sebelumnya.

http://www.equator-news.com/religi/20111125/bagaimana-menyambut-tahun-baru-islam

Minggu, 04 Desember 2011

Generasi “Galau”? Don’t Follow!

Generasi “Galau”? Don’t Follow!

Posted in Buletin gaulislam,Tahun V/2011-2012 by Farah Zuhra on the November 21st, 2011

Add to Technorati Favorites

gaulislam edisi 213/tahun ke-5 (25 Dzulhijjah 1432 H/ 21 November 2011)



Bro en Sis rahimakumullah, alhamdulillah kita bisa jumpa lagi ya. Saya seneng banget bisa hadir kembali dengan tulisan di gaulislam untuk nemenin kamu semua belajar Islam, memahami isinya, memahami persoalan remaja, dan memberikan solusi islami terhadap permasalahan kamu semua. Insya Allah, Islam adalah solusi atas semua permasalahan yang ada. Termasuk masalah-masalah remaja. Jangan berpaling ke ideologi lain, jangan ikuti ajaran selain Islam, jangan mencoba mencari solusi permasalahan kehidupan kepada selain agama Islam. Sebabnya apa?
Ya, sebabnya kita muslim. Artinya, kita udah punya pedoman hidup sendiri, punya aturan hidup sendiri, punya jalan hidup sendiri. Islamlah yang mengatur segala permasalahan kita. Islam mengatur kehidupan kita dari mulai bangun tidur sampe tidur lagi (ssstt.. bukan berarti pas bangun tidur langsung tidur lagi, itu sih di lagunya Mbah Surip atuh hehehe…). Maksudnya, dari mulai kita bangun tidur di pagi hari, masuk ke kamar mandi, nongkrong di WC, mandi, sarapan, berkomunikasi dengan ortu, berangkat sekolah, etika bergaul dengan teman, menghormati guru, taat aturan sekolah, disiplin di jalan raya (nggak ugal-ugalan dan bikin bahaya diri dan orang lain), belajar di sekolah, shalat, ibadah lainnya, membeli makanan di kantin, belanja di pasar or mal, naik kendaraan umum, pinjam meminjam barang teman dan tetangga, ikut kajian keislaman, aktif berdakwah, main facebookan, twiteran, ngeblog, dan lain sebagainya, hingga malam hari kita tidur lagi, pastikan bahwa aturan Islam menjadi landasan aktivitas kita. Keren kan? Itulah hebatnya Islam.
Sobat muda muslim, termasuk yang lagi jadi sorotan saat ini, meskipun udah berbulan-bulan sih sebenarnya, adalah masih banyaknya di antara kamu yang hidupnya merasa ‘galau’. Oya, istilah galau ini kalo nyari di internet jadi banyak macamnya (tergantung siapa yang menginginkan maksudnya): ada yang bilang galau adalah suatu keadaan ketika suasana hati menginginkan kebebasan, namun ada yang mengikat, nggak mau lepas. Ditemukan juga istilah galau adalah suatu keadaan dimana kita memikirkan suatu hal secara berlebihan, bingung apa yang harus dilakukan dengan suatu hal ini—dengan pikirannya sendiri sehingga menimbulkan efek emosi melabil, pikiran pusing, dan mendadak insomnia. Tapi kalo di Kamus Besar Bahasa Indonesia, galau itu artinya sibuk beramai-ramai, sangat ramai atau kacau tidak karuan (pikirannya). Meski sedikit berbeda, tapi penampakan umum ‘penderita’ galau adalah sering resah dan suka mengeluh, masalah pribadi (sengaja) diumbar ke publik (via facebook atau twitter), self-centered alias kalo ngomong lebih banyak tentang “keakuannya”. Ckckck… kamu termasuk yang galau nggak nih? Pletak! #nepukjidat.
Ya, kehidupan ini bagi orang-orang yang galau serasa sempit. Dunia tak lagi indah, nikmat hidup tak lagi terasa. Inginnya menumpahkan segala kesah dan keluh, menganggap bahwa dirinya paling menderita di seluruh dunia (BTW, lagu jadul Bang Hamdan ATT, “Termiskin di Dunia” bisa tersaingi nih! Hahaha!). Kamu yang merasa lagi galau karena putus cinta, galau dapat nilai fisika berbentuk sisir (maksudnya dapet nilai E alias nggak lulus) makin membuat hatimu remuk redam, wajahpun nggak karuan jadinya bagai pinang diinjek hansip. Hedeuuh, dunia bagimu ibarat altar penyiksaan paling kejam yang pernah kamu rasakan, sehingga perlu memasang status di facebook: “Afgan mode on” alias SADIS. Hehehe…
Saya kepikiran membahas tema “galau” adalah ketika saya menjadi salah satu pembicara di acara Seminar “Membangun Generasi Produktif Berkarakter di Era Teknologi Informasi dan Komunikasi” pada 17 November 2011 di Pudiklat Rumah Gemilang Indonesia di daerah Sawangan, Depok. Hadir dalam acara itu adalah remaja perwakilan SMA/SMK dan MA se-Depok. Seru juga tuh berbincang dan mengajak para remaja membahas seputar membangun kepribadian Islam di era teknologi informasi dan komunikasi (termasuk bahas soal “galau”)
Dalam seminar yang dihadiri lebih dari 70 orang dari perwakilan SMA/SMK dan MA se-Depok itu, selain dibagikan buletin gaulislam edisi “black metal” juga peserta yang berhasil membuat status keren (yang jelas bukan status galau) yang dikirim via SMS ke nomor hp saya pada saat acara dapat buku “Menjadi Penulis Hebat”. Peserta yang bisa menjawab pertanyaan dari saya dapet hadiah buku “Gaul Tekno Tanpa Error” (nah, kalo ini cocok banget deh dengan tema seminar). Wah, kayaknya pembaca setia gaulislam edisi cetak di Bogor, Jakarta, Tangerang, Bekasi, Bandung, Lampung, Jambi, Palembang, Balikpapan, Samarinda, Riau, Kuningan, Banjarnegara, Pamekasan, Banjarmasin dan kota lainnya yang baca info ini di internet kayaknya ngiri deh. Ciee.. pede banget (nuduhnya!). Kalo ngiri, ya adain juga di sekolah-sekolahmu, insya Allah saya dan kru gaulislam siap datang untuk bekerjasama ngisi acara. Insya Allah seru deh!

Mengapa harus galau?
Bro en Sis pembaca gaulislam, nggak cukupkah Allah Swt. ngasih nikmat buat kita? Nggak nyadar kalo kita udah diberi waktu untuk hidup? Saat kita bangun pagi, membaca doa, lalu berpikir sejenak: “Aku masih hidup, terima kasih ya Allah. Engkau telah memberikan kesempatan bagiku untuk menjemput karunia-Mu yang besar dan berlimpah di dunia ini”. Subhanallah, kalo semua remaja dan umat manusia ini berpikiran demikian, rasanya sedikit, atau malah nggak ada yang galau dalam hidupnya. Seberat apapun masalah yang dihadapi, nggak akan berkeluh kesah dan putus asa. Sebaliknya, akan kian semangat mencari solusinya dengan tetap mengharap ridho Allah.
Rasa-rasanya di antara kaum muslimin umumnya sudah pernah membaca surat ar-Rahman. Ya, pasti akan berkesan dengan diulang-ulangnya hingga 31 kali  ayat: Fa-biayyi alaa’i Rabbi kuma tukadzdzi ban (“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”). Ayat ini diletakkan di akhir setiap ayat yang menjelaskan nikmat Allah Ta’ala yang diberikan kepada manusia. ‘Seolah-olah’ Allah Swt. mempertanyakan kepada kita: “NikmatKu yang mana yang kamu dustakan?”
Jika kita sedang berhadapan dengan seseorang yang mempertanyakan dengan pertanyaan seperti itu kepada kita, rasanya kita akan takut ketika kita memang mendustakan pemberiaan orang tersebut. Apalagi di hadapan Allah Swt.? PertanyaanNya terasa sangat menghunjam dada kita. Sesak rasanya. Meski kita tak mendustakan nikmatNya, namun tetap saja ada rasa khawatir, “jangan-jangan banyak juga nikmat yang tak terasa yang kita lupa bersyukur kepadaNya, atau bahkan tak menganggapnya sebagai nikmat”. Kita pantas takut.
So, nggak ada alasan untuk galau kan? Allah Swt. udah ngasih begitu banyak kenikmatan bagi kita. Ngapain juga kudu nulis status di facebook: “gue sedih, pacar ninggalin gue… ada racun serangga nggak ya?” Wedew! Cemen banget. Atau nge-twit gini: “Tuhan nggak adil, aku tak pernah bisa bahagia” Astaghfirullah. Ckckck.. jangan sampe kayak gitu Bro en Sis! Nggak boleh berburuk sangka kepada Allah Swt. Lagian, ngapain juga nulis di facebook yang bisa dibaca ribuan teman kamu atau ribuan follower-mu di twitter, apakah ingin seluruh dunia tahu tentang kamu? Dulu waktu SMP saya punya buku harian, yang isinya hanya saya yang tahu. Keluh kesah tetap ada, tapi saya menguncinya dengan rapat di buku harian. Orang lain tak boleh tahu. Kalo sekarang? Hehehe.. facebook dan twitter udah jadi sarana penampungan dan publikasi galau kamu. Halah!

‘Curhat’sama Allah Swt.
Sebagai orang yang beriman kepada Allah Swt., nggak pantes banget kalo kita berkeluh kesah, putus asa, dan mengumbar kegalauan kamu ke seantero penduduk bumi. Cukup Allah Ta’ala saja sebagai tempat kamu ‘curhat’. Orang lain belum tentu bisa semuanya membantu kesulitanmu, tetapi Allah Swt. insya Allah pasti akan menolongmu. Jadi selalu ingat Allah di kala hatimu resah, gelisah, gundah gulana bin galau.
Allah Swt berfirman: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS ar-Ra’d [13]: 28)
Salah seorang ulama salaf berkata: “Sungguh kasihan orang-orang yang cinta dunia, mereka (pada akhirnya) akan meninggalkan dunia ini, padahal mereka belum merasakan kenikmatan yang paling besar di dunia ini”, maka ada yang bertanya: “Apakah kenikmatan yang paling besar di dunia ini?”, Ulama ini menjawab: “Cinta kepada Allah, merasa tenang ketika mendekatkan diri kepada-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya, serta merasa bahagia ketika berzikir dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya” (Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab “Igaatsatul lahfaan” (1/72)
Sobat muda muslim pembaca setia gaulislam, bertakwalah kepada Allah Swt., insya Allah masalah yang kita hadapi ada jalan keluarnya dan tawakkallah kepada Allah Swt, insya Allah Dia akan mencukupkan keperluan kita. Sebagaimana dalam firmanNya (yang artinya): “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS ath-Thlaaq [65]: 2-3)
Ayat ini adalah janji Allah Swt. Kita wajib mempercayainya. So, nggak usah galau atas segala kesempitan dan kesusahan yang kamu hadapi. Takwa dan tawakkal kepada Allah Swt akan menentramkan pikiran dan perasaan kita. Tetap berdoa kepadaNya minta dimudahkan dalam segala urusan kehidupan kita. Insya Allah ada jalan keluarnya.

Tips sederhana
Bro en Sis, nih ada sedikit tips praktis yang insya Allah bisa membantu kamu ngilangin galau: Pertama, jangan putus asa. Benar sobat. Nggak perlu untuk putus asa. Kegagalan bukanlah akhir dari segalanya dalam hidup kita. Realistis saja. Ibarat dua sisi mata uang, kalo yang satu adalah kegagalan, maka sisi lainnya adalah keberhasilan. Jadi, masih ada kesempatan untuk mencobanya lagi. Maju terus pantang mundur dan jangan galau
Kedua, belajar dari kesalahan. Hidup ini penuh dinamika sobat. Kemarin kita boleh gagal. Tapi esok, jangan terulang lagi. Itu sebabnya, pelajari kenapa kita gagal. Mungkin ada kesalahan yang kita lakukan. Mending pelajari dan perbaiki kesalahan itu ketimbang ngumbar galaumu.
Ketiga, galang dukungan. Nggak usah malu untuk meminta dukungan dari pihak lain. Apalagi jika kekuatannya bisa memperbaiki kegagalan dan kegalauan kita. Kita bisa lakukan itu untuk meningkatkan semangat dan kinerja kita. Jadi gandeng teman, ortu, guru dsb untuk membantu atasi kegalauanmu selama ini.
Keempat, baca biografi orang yang sukses dalam hidupnya. Kamu bisa baca kisah para sahabat rasulullah saw., dan juga orang-orang sukses jaman kiwari. Siapa tahu bisa tambah bikin semangat. Cobalah.
So, meski banyak generasi galau, don’t follow. Sebaliknya, ajak mereka supaya nggak galau lagi. Caranya? Coba mulai dengan ngasih artikel gaulislam edisi ini dan ajak diskusi. Sip kan? [solihin | Twitter: @osolihin]

Kilas Balik Fakta Persatuan Umat Islam Tempo Dulu

Add to Technorati Favorites

Kondisi umat Islam saat ini sangat memilukan. Mereka yang jumlahnya 1 milyar lebih terpecah-belah menjadi lebih dari 50 negara berdasarkan nasionalisme dalam format negara-bangsa (nation-state). Bahkan mungkin jumlah ini akan bertambah, seiring dengan upaya dan rekayasa licik Barat pimpinan Amerika Serikat untuk semakin mencerai-beraikan berbagai negara di dunia dengan gerakan separatisme dan prinsip “menentukan nasib sendiri” melalui legitimasi PBB. Kasus lepasnya Timor Timur adalah contoh yang amat nyata di hadapan mata kita.
Kondisi ini dengan sendirinya membuat umat menjadi lemah sehingga mudah untuk dikendalikan dan dijajah oleh negara-negara kafir imperialis. Prinsip “devide et impera” (farriq tasud) ternyata belum berakhir. Penjajahan yang dulu dilakukan secara langsung dengan pendudukan militer, kini telah bersalin rupa menjadi penjajahan gaya baru yang lebih halus dan canggih. Di bidang ekonomi, Barat menerapkan pemberian utang luar negeri, privatisasi, globalisasi, pengembangan pasar modal, dan sebagainya. Di bidang budaya, Barat mengekspor ide-ide kebebasan melalui film, lagu, novel, radio, musik, internet,  dan lain-lain. Di bidang politik, Barat memaksakan ide masyarakat madani (civil society), demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, dan lain-lainnya. Bentuk-bentuk penjajahan gaya baru ini dapat berlangsung, karena kondisi umat yang terpecah-belah tadi.
Umat Islam sudah seharusnya sadar, bahwa kondisi buruk semacam itu tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang mereka anut. Islam mengajarkan persatuan dan kesatuan umat, baik secara maknawi dalam bentuk adanya perasaan sebagai satu kesatuan berdasar keimanan, maupun secara konkret dalam bentuk keharusan hidup di bawah satu institusi politik Islam. Sebaliknya, Islam telah  menafikan dan menghapus sentimen ‘ashabiyah, yakni segala bentuk perasaan yang mewujud dalam ikatan antar individu yang tidak berdasarkan Islam, seperti kesukuan, kebangsaan, fanatisme kelompok, dan sebagainya.
Prinsip-prinsip persatuan umat seperti itulah yang telah eksis secara nyata dalam bentangan sejarah umat Islam dari masa ke masa, kendati harus diakui memang terjadi pasang surut pada beberapa waktu.  Umat Islam perlu mengetahui fakta tersebut, bukan untuk bernostalgia atau menikmati romantisme cengeng masa lalu, akan tetapi untuk  mengambil pelajaran darinya serta menjadikannya pendorong untuk merealisasikannya sekali lagi dalam panggung kehidupan nyata.
Persatuan dan Kesatuan Umat dari Masa ke Masa
Persatuan umat Islam mulai nampak secara kongkrit sejak berdirinya Daulah Islamiyah di Madinah setelah peristiwa hijrah, di mana saat itu Rasulullah SAW berkedudukan sebagai kepala negara (ra`isu ad daulah), hakim (qadhi), dan sekaligus panglima angkatan bersenjata (qa`idul jaisy).  Di kota Madinah Rasulullah SAW membangun persatuan umat atas dasar ukhuwah Islamiyah yang berasaskan Aqidah Islamiyah, sesuai firman Allah SWT :
Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara…” (QS Al Hujaraat : 10)
Maka menjadi bersaudaralah golongan Anshar –terdiri dari qabilah Aus dan Khazraj– dan golongan Muhajirin yang terdiri dari orang-orang Quraisy.  Bahkan ada beberapa shahabat Rasulullah SAW yang di luar golongan-golongan tersebut, seperti Bilal  Al Habsyi dari Habasyah (sekarang Ethiopia), Shuhaib Ar Rumi dari Romawi (Eropa), dan Salman Al Farisi dari Persia (Iran).  Mereka semua adalah bersaudara satu sama lain, sebagaimana Rasulullah SAW juga telah mempersaudarakan sesama kaum muslimin atas dasar Islam.  Beliau dan Ali bin Abi Thalib adalah dua orang bersaudara, sebagaimana pamannya Hamzah bin Abdul Muthalib dan maula-nya Zaid juga dua orang bersaudara.  Abu Bakar Ash Shiddiq dan Kharijah bin Zaid adalah dua bersaudara, sebagaimana Umar bin Khaththab dan Uthban bin Malik Al Khazraji juga dua orang bersaudara.  Demikian pula Thalhah bin Ubaidilah dan Abu Ayyub Al Anshori adalah dua bersaudara, sebagaimana Abdurrahman bin Auf dan Sa’ad bin Ar Rabi’ juga dua orang bersaudara (Lihat Sirah Ibnu Hisyam, juz 2 hal. 123-126 dan As Sirah Al Halabiyah, juz 2 hal. 292-293).  Ukhuwah ini benar-benar terwujud dalam kehidupan sehari-hari tatkala mereka saling memenuhi kebutuhan hidup masing-masing dalam berdagang, bertani, dan yang lainnya.
Persatuan umat Islam semakin ditegaskan eksistensinya dalam Piagam Madinah (Watsiqah Madinah) yang mengatur interaksi sesama kaum muslimin maupun antar kaum muslimin dengan non-muslim (Yahudi) di Madinah.  Dengan perjanjian ini, Rasulullah SAW bermaksud membangun masyarakat Islam berdasarkan asas yang tetap dan kokoh, yaitu Aqidah Islamiyah.  Dalam kitab-kitab sirah dan hadits disebutkan antara lain teks piagam tersebut:
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.  Ini adalah kitab (perjanjian) dari Muhammad Nabi SAW antara orang-orang mu`min dan muslim dari golongan Quraisy dan Yatsrib…: “Sesungguhnya mereka adalah umat yang satu (ummah wahidah), yang berbeda dengan orang-orang lain …” (Lihat Sirah Ibnu Hisyam, juz 2 hal. 119).
Dari teks di atas terlihat dengan jelas bahwa umat Islam merupakan satu kesatuan, meskipun tidak berarti negara Islam hanya berwarga negara kaum muslimin. Orang-orang kafir pun dapat menjadi warga negaranya.  Dalam Piagam Madinah itu sendiri juga diatur interaksi golongan Yahudi dengan kaum muslimin.
Setelah wafatnya Rasulullah SAW, persatuan dan kesatuan umat tetap dapat dijaga setelah para shahabat berijma’ untuk membai’at seorang Khalifah saja sebagai kepala negara.  Dan secara global dapat dikatakan, kewajiban mengangkat seorang Khalifah ini tetap dilaksanakan kaum muslimin sepanjang sejarah hingga tahun 1342 H (1924 M), tatkala kaum kafir penjajah meruntuhkan Khilafah Utsmaniyah dan memenggal-menggal Dunia Islam menjadi negara-negara kerdil yang lemah (Lihat Taqiyuddin An Nabhani, Ad Daulah Al Islamiyah,  cet 2, hal. 100).
Memang, dalam sejarah Islam ada fenomena yang menunjukkan seolah-olah kaum muslimin pernah tidak bersatu di bawah satu negara.  Sebenarnya tidak demikian.  Perlu dipahami, para Khalifah terdahulu umumnya tidak mengadopsi (mentabanni) hukum-hukum tertentu mengenai sistem pemerintahan, meskipun mereka mengadopsi hukum-hukum tertentu dalam bidang perekonomian dan bidang lainnya.  Hal ini mengakibatkan sebagian Khalifah dan Wali mendapatkan kesempatan untuk menjalankan roda pemerintahan sedemikian rupa sehingga mempengaruhi kesatuan dan kekuatan negara, meskipun tidak sampai mempengaruhi keberadaan negara Islam.  Para Wali pada saat itu diberi kekuasaan umum (al wilaayah al ‘aammah) dan otoritas yang luas sebagai wakil dari Khalifah.  Hal ini menyebabkan munculnya keinginan dan hasrat memimpin dalam diri mereka, sehingga mereka bertindak seperti orang yang terpisah atau tidak memiliki hubungan dengan Khalifah di pusat.  Para Wali itu hanya mencukupkan diri dengan membai’at Khalifah, mendo’akannya di mimbar-mimbar masjid pada saat shalat Jum’at atau hari-hari raya, mencetak mata uang atas nama Khalifah, dan hal-hal formalitas lainnya. Sementara itu, urusan pemerintahan secara riil ada di tangan mereka.  Kenyataan ini menyebabkan wilayah-wilayah ini menjadi seperti negara-negara yang berdiri sendiri, yang sebenarnya tidaklah demikian.  Inilah yang dapat menerangkan keberadaan kekuasaan Hamdaniyyin, Saljuqiyyin, dan yang lainnya, yang terkadang dipahami –secara kurang tepat– oleh sebagian penulis sejarah  sebagai negara-negara Islam yang independen (Lihat Taqiyuddin An Nabhani, Daulah Islamiyah, cet. 2, hal. 103. Lihat juga Dr. Abdul Halim ‘Uwais, Dirasah Li Suquthi Tsalatsina Daulah Islamiyah, Darusy Syuruq, Saudi Arabia, 1982)
Sesungguhnya kekuasaan umum (al wilaayah al ‘aammah) tidak berpengaruh terhadap kesatuan negara.  Hal ini pernah terjadi pada shahabat Amr bin Al ‘Ash yang memiliki wilayah kekuasaan umum di Mesir, atau Mu’awiyah bin Abi Sofyan yang juga memiliki kekuasaan umum di Syam.  Meskipun demikian, pada saat itu mereka sebagai Wali tidak berdiri sendiri atau memisahkan diri dari Khalifah sedikit pun. Kesatuan negara tetap terjaga karena kuatnya kepemimpinan para Khalifah.
Tetapi tatkala kepemimpinan para Khalifah lemah dan para Wali membiarkan hal ini, muncullah penampakan adanya negara di wilayah, meskipun sesungguhnya wilayah ini masih berada di bawah teritori Khilafah dan menjadi bagian integral darinya. Negara Khilafah tetap merupakan satu kesatuan dan tidak pernah berubah menjadi semacam “federasi wilayah”, sebab Khalifah-lah yang mengangkat dan memberhentikan para Wali. Mereka tidak berani untuk tidak mengakui kepemimpinan Khalifah, bagaimana pun juga kuatnya kepemimpinan mereka.
Dengan demikian, negara Khilafah tetap merupakan satu kesatuan dengan seorang Khalifah yang satu. Dialah yang memegang segala kewenangan kenegaraan di setiap bagian teritori negara, di pusat (ibu kota), di berbagai wilayah, kota, dan desa. (Lihat Taqiyuddin An Nabhani, Daulah Islamiyah, cet. 2, hal. 104)
Adapun peristiwa sejarah yang menunjukkan adanya Khilafah di Andalusia dan munculnya Khilafah golongan Fathimiyin di Mesir, dimensinya berbeda dengan dimensi menonjolnya kekuatan wilayah seperti telah diterangkan.   Saat itu Andalusia telah dikuasai oleh para Wali yang melepaskan diri dari pusat Khilafah. Namun demikian, Wali yang ada di sana tidak dibai’at sebagai Khalifah untuk kaum muslimin, tetapi –seperti disebut-sebut kemudian– sebagai Khalifah untuk penduduk Andalusia saja, bukan untuk seluruh kaum muslimin. Wilayah Andalusia menganggap dirinya sebagai wilayah yang tidak masuk dalam teritori Khilafah, mirip dengan kondisi yang ada di Iran pada masa Daulah Utsmaniyah Dengan demikian, Khalifah bagi seluruh kaum muslimin tetap satu dan tetap memegang kekuasaan umum bagi mereka. Dengan kata lain, di Andalusia sebenarnya tidak muncul Khalifah kedua. Yang terjadi adalah munculnya satu wilayah yang tidak masuk dalam teritori Khilafah.
Sedangkan munculnya Khilafah golongan Fathimiyin di Mesir, sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai Khilafah kedua dalam tubuh umat Islam. Fakta yang terjadi saat itu, adalah adanya upaya untuk memindahkan kekuasaan Khilafah kepada Ahlul Bait, sesuai dengan pemahaman Islami yang mereka adopsi, bahwa Khilafah harus dipegang oleh Ahlul Bait. Peristiwa ini sangat mirip dengan apa yang dilakukan oleh golongan ‘Abbasiyin tatkala mereka mengambil kekuasaan dari golongan Umawiyin. Seperti diketahui, golongan ‘Abbasiyin telah membangun pengaruh mereka di Persia dan Irak, lalu membai’at Khalifah dan meruntuhkan Khilafah Umawiyin. Demikian pula halnya dengan Khilafah Fathimiyin. Mereka membai’at seorang Khalifah untuk memindahkan kekuasaan Khilafah kepada golongan mereka saja (Ahlul Bait) hingga waktu tertentu saat berakhirnya kekuasaan mereka, sementara Khilafah Abbasiyin masih tetap ada dan terus bertahan. Maka dari itu, berdirinya Khilafah golongan Fathimiyin di Mesir bukan merupakan Khilafah kedua di tubuh umat (setelah adanya Khilafah Abbasiyin di Baghdad), melainkan hanya upaya untuk memindahkan kekuasaan Khilafah dari satu golongan ke golongan lain. (Lihat Taqiyuddin An Nabhani, Daulah Islamiyah, cet. 2, hal. 104)
Jelaslah, negara Islam (Khilafah) dalam sejarahnya tetap merupakan satu kesatuan, tak pernah terpecah-belah menjadi beberapa negara. Yang terjadi adalah usaha-usaha untuk memperoleh kekuasaan sesuai dengan persepsi Islami tertentu mengenai  pemerintahan, kemudian usaha ini berakhir, sementara Khilafah terus eksis dan tetap satu. Di antara bukti yang menunjukkan bahwa  Khilafah merupakan satu kesatuan, adalah adanya keleluasaan berpindah dan bepergian bagi kaum muslimin dari satu negeri ke negeri Islam lain. Seorang muslim yang bepergian melintasi beberapa negeri Islam tak pernah ditanya dari mana asalnya seperti orang asing, atau dimintai izin pindah dan izin tinggal. Sebab, negeri-negeri Islam adalah satu, di bawah Khilafah Islamiyah yang satu.
Kondisi seperti ini tetap berlangsung sepanjang sejarah Islam, hingga akhirnya kaum penjajah yang kafir menghancurkan Khilafah Utsmaniyah di Turki tahun 1924 M  melalui agennya Musthofa Kamal Attaturk yang murtad. Sejak itu nasib kaum muslimin menjadi terpuruk hingga taraf yang terendah, terlunta-lunta, ternista, dan terhina dalam belenggu ide nasionalisme dan patriotisme yang batil, yang sengaja disebarluaskan oleh imperialis Barat sebagai racun untuk membunuh hasrat bersatu kaum muslimin sebagai umat Islam, sekaligus untuk melestarikan perpecahan umat Islam agar dapat terus dijajah, dieksploitir, dan dikendalikan oleh imperialis Barat yang kafir.
 
Penutup : Wajib Mengembalikan Kesatuan Umat
Secara umum dapat dinyatakan bahwa umat Islam dalam sejarahnya selalu hidup dalam satu kesatuan, yakni hidup dalam satu institusi, satu negara, di bawah kepemimpinan seorang pemimpin (Khalifah/Imam).
Hal tersebut merupakan suatu kewajiban atas kaum muslimin –sebagaimana kewajiban sholat, shaum, dan jihad— sesuai firman Allah SWT:
Dan berpeganglah kalian semuanya dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai…” (QS Ali ‘Imraan : 103)
Rasulullah SAW dalam masalah ini bersabda :
Barangsiapa mendatangi kalian — sedang urusan (kehidupan) kalian ada di bawah kepemimpinan satu orang (Imam/Khalifah)– dan dia hendak memecah belah kesatuan kalian dan mencerai-beraikan jamaah kalian, maka  bunuhlah dia!” (HR. Muslim)

Dalil-dalil di atas menegaskan adanya kewajiban bersatu bagi kaum muslimin atas dasar Islam (hablullah) –bukan atas dasar kebangsaan atau ikatan palsu ainnya—di bawah satu kepemimpinan, yaitu seorang Khalifah. Dalil-dalil di atas juga menegaskan keharaman berpecah-belah dan bercerai-berai. Barangsiapa yang berupaya untuk memecah-belah umat Islam menjadi beberapa negara, maka sanksi syar’i baginya adalah jelas dan tegas : hukuman mati !
Di samping Al Qur`an dan As Sunnah, Ijma’ Shahabat pun menegaskan pula prinsip kesatuan umat di bawah kepemimpinan seorang Khalifah. Abu Bakar Ash Shiddiq  pernah berkata,”Tidak halal kaum muslimin mempunyai dua pemimpin (Imam).” Perkataan didengar oleh para shahabat dan tidak mereka ingkari, sehingga menjadi ijma’di kalangan mereka .
Bahkan sebagian fuqoha menggunakan Qiyas –sumber hukum keempat—untuk menetapkan prinsip kesatuan umat. Imam Al Juwaini berkata,”Para ulama kami (madzhab Syafi’i) tidak membenarkan akad Imamah (Khilafah) untuk dua orang…Kalau terjadi akad Khilafah untuk dua orang, itu sama halnya dengan wali yang menikahkan seorang perempuan dengan dua orang laki-laki!”
Artinya, Imam Juwaini mengqiyaskan keharaman adanya dua Imam bagi kaum muslimin, sebagaimana  keharaman wali menikahkan seorang perempuan dengan dua orang lelaki yang akan menjadi suaminya.Dengan kata lain, Imam/Khalifah untuk kaum muslimin wajib hanya satu, sebagaimana wali hanya boleh menikahkan seorang perempuan dengan satu orang laki-laki. (Lihat Dr, Muhammad Khair, Wahdatul Muslimin fi Asy Syai’ah Al Islamiyah, majalah Al Wa’ie, hal. 6-13, no. 134, Rabi’ul Awal 1419 H/Juli 1998 M)
Jelas bahwa kesatuan umat adalah satu kewajiban kaum muslimin yang harus mereka wujudkan. Jika mereka lalai mewujudkannya, mereka akan memikul dosa besar di hadapan Allah pada Hari Kiamat nanti. Karena itu, kaum muslimin wajib berjuang demi terwujudnya kesatuan umat di bawah naungan negara Khilafah, seperti yang pernah terjadi dalam sejarah umat Islam tempo dulu.
Dengan berjuang secara ikhlas dan bersungguh-sungguh, Insya Allah, cita-cita ini akan tercapai, sesuai janji Allah SWT :
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang shaleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa…” (QS An Nuur : 55).  [Muhammad Shiddiq Al Jawi]




sumber:
http://www.gaulislam.com/kilas-balik-fakta-persatuan-umat-islam-tempo-dulu