Kondisi
umat Islam saat ini sangat memilukan. Mereka yang jumlahnya 1 milyar
lebih terpecah-belah menjadi lebih dari 50 negara berdasarkan
nasionalisme dalam format negara-bangsa (nation-state). Bahkan mungkin
jumlah ini akan bertambah, seiring dengan upaya dan rekayasa licik
Barat pimpinan Amerika Serikat untuk semakin mencerai-beraikan berbagai
negara di dunia dengan gerakan separatisme dan prinsip “menentukan
nasib sendiri” melalui legitimasi PBB. Kasus lepasnya Timor Timur
adalah contoh yang amat nyata di hadapan mata kita.
Kondisi ini dengan sendirinya membuat umat menjadi lemah sehingga
mudah untuk dikendalikan dan dijajah oleh negara-negara kafir
imperialis. Prinsip “devide et impera” (farriq tasud) ternyata belum
berakhir. Penjajahan yang dulu dilakukan secara langsung dengan
pendudukan militer, kini telah bersalin rupa menjadi penjajahan gaya
baru yang lebih halus dan canggih. Di bidang ekonomi, Barat menerapkan
pemberian utang luar negeri, privatisasi, globalisasi, pengembangan
pasar modal, dan sebagainya. Di bidang budaya, Barat mengekspor ide-ide
kebebasan melalui film, lagu, novel, radio, musik, internet, dan
lain-lain. Di bidang politik, Barat memaksakan ide masyarakat madani
(civil society), demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, dan
lain-lainnya. Bentuk-bentuk penjajahan gaya baru ini dapat berlangsung,
karena kondisi umat yang terpecah-belah tadi.
Umat Islam sudah seharusnya sadar, bahwa kondisi buruk semacam itu
tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang mereka anut. Islam
mengajarkan persatuan dan kesatuan umat, baik secara maknawi dalam
bentuk adanya perasaan sebagai satu kesatuan berdasar keimanan, maupun
secara konkret dalam bentuk keharusan hidup di bawah satu institusi
politik Islam. Sebaliknya, Islam telah menafikan dan menghapus
sentimen ‘ashabiyah, yakni segala bentuk perasaan yang mewujud dalam
ikatan antar individu yang tidak berdasarkan Islam, seperti kesukuan,
kebangsaan, fanatisme kelompok, dan sebagainya.
Prinsip-prinsip persatuan umat seperti itulah yang telah eksis
secara nyata dalam bentangan sejarah umat Islam dari masa ke masa,
kendati harus diakui memang terjadi pasang surut pada beberapa waktu.
Umat Islam perlu mengetahui fakta tersebut, bukan untuk bernostalgia
atau menikmati romantisme cengeng masa lalu, akan tetapi untuk
mengambil pelajaran darinya serta menjadikannya pendorong untuk
merealisasikannya sekali lagi dalam panggung kehidupan nyata.
Persatuan dan Kesatuan Umat dari Masa ke Masa
Persatuan umat Islam mulai nampak secara kongkrit sejak berdirinya
Daulah Islamiyah di Madinah setelah peristiwa hijrah, di mana saat itu
Rasulullah SAW berkedudukan sebagai kepala negara (ra`isu ad daulah),
hakim (qadhi), dan sekaligus panglima angkatan bersenjata (qa`idul
jaisy). Di kota Madinah Rasulullah SAW membangun persatuan umat atas
dasar ukhuwah Islamiyah yang berasaskan Aqidah Islamiyah, sesuai firman
Allah SWT :
“
Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara…” (
QS Al Hujaraat : 10)
Maka menjadi bersaudaralah golongan Anshar –terdiri dari qabilah Aus
dan Khazraj– dan golongan Muhajirin yang terdiri dari orang-orang
Quraisy. Bahkan ada beberapa shahabat Rasulullah SAW yang di luar
golongan-golongan tersebut, seperti Bilal Al Habsyi dari Habasyah
(sekarang Ethiopia), Shuhaib Ar Rumi dari Romawi (Eropa), dan Salman Al
Farisi dari Persia (Iran). Mereka semua adalah bersaudara satu sama
lain, sebagaimana Rasulullah SAW juga telah mempersaudarakan sesama
kaum muslimin atas dasar Islam. Beliau dan Ali bin Abi Thalib adalah
dua orang bersaudara, sebagaimana pamannya Hamzah bin Abdul Muthalib
dan maula-nya Zaid juga dua orang bersaudara. Abu Bakar Ash Shiddiq
dan Kharijah bin Zaid adalah dua bersaudara, sebagaimana Umar bin
Khaththab dan Uthban bin Malik Al Khazraji juga dua orang bersaudara.
Demikian pula Thalhah bin Ubaidilah dan Abu Ayyub Al Anshori adalah dua
bersaudara, sebagaimana Abdurrahman bin Auf dan Sa’ad bin Ar Rabi’ juga
dua orang bersaudara (Lihat Sirah Ibnu Hisyam, juz 2 hal. 123-126 dan
As Sirah Al Halabiyah, juz 2 hal. 292-293). Ukhuwah ini benar-benar
terwujud dalam kehidupan sehari-hari tatkala mereka saling memenuhi
kebutuhan hidup masing-masing dalam berdagang, bertani, dan yang
lainnya.
Persatuan umat Islam semakin ditegaskan eksistensinya dalam Piagam
Madinah (Watsiqah Madinah) yang mengatur interaksi sesama kaum muslimin
maupun antar kaum muslimin dengan non-muslim (Yahudi) di Madinah.
Dengan perjanjian ini, Rasulullah SAW bermaksud membangun masyarakat
Islam berdasarkan asas yang tetap dan kokoh, yaitu Aqidah Islamiyah.
Dalam kitab-kitab sirah dan hadits disebutkan antara lain teks piagam
tersebut:
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ini
adalah kitab (perjanjian) dari Muhammad Nabi SAW antara orang-orang
mu`min dan muslim dari golongan Quraisy dan Yatsrib…: “Sesungguhnya
mereka adalah umat yang satu (ummah wahidah), yang berbeda dengan
orang-orang lain …” (Lihat Sirah Ibnu Hisyam, juz 2 hal. 119).
Dari teks di atas terlihat dengan jelas bahwa umat Islam merupakan
satu kesatuan, meskipun tidak berarti negara Islam hanya berwarga
negara kaum muslimin. Orang-orang kafir pun dapat menjadi warga
negaranya. Dalam Piagam Madinah itu sendiri juga diatur interaksi
golongan Yahudi dengan kaum muslimin.
Setelah wafatnya Rasulullah SAW, persatuan dan kesatuan umat tetap
dapat dijaga setelah para shahabat berijma’ untuk membai’at seorang
Khalifah saja sebagai kepala negara. Dan secara global dapat
dikatakan, kewajiban mengangkat seorang Khalifah ini tetap dilaksanakan
kaum muslimin sepanjang sejarah hingga tahun 1342 H (1924 M), tatkala
kaum kafir penjajah meruntuhkan Khilafah Utsmaniyah dan
memenggal-menggal Dunia Islam menjadi negara-negara kerdil yang lemah
(Lihat Taqiyuddin An Nabhani, Ad Daulah Al Islamiyah, cet 2, hal. 100).
Memang, dalam sejarah Islam ada fenomena yang menunjukkan
seolah-olah kaum muslimin pernah tidak bersatu di bawah satu negara.
Sebenarnya tidak demikian. Perlu dipahami, para Khalifah terdahulu
umumnya tidak mengadopsi (mentabanni) hukum-hukum tertentu mengenai
sistem pemerintahan, meskipun mereka mengadopsi hukum-hukum tertentu
dalam bidang perekonomian dan bidang lainnya. Hal ini mengakibatkan
sebagian Khalifah dan Wali mendapatkan kesempatan untuk menjalankan
roda pemerintahan sedemikian rupa sehingga mempengaruhi kesatuan dan
kekuatan negara, meskipun tidak sampai mempengaruhi keberadaan negara
Islam. Para Wali pada saat itu diberi kekuasaan umum (al wilaayah al
‘aammah) dan otoritas yang luas sebagai wakil dari Khalifah. Hal ini
menyebabkan munculnya keinginan dan hasrat memimpin dalam diri mereka,
sehingga mereka bertindak seperti orang yang terpisah atau tidak
memiliki hubungan dengan Khalifah di pusat. Para Wali itu hanya
mencukupkan diri dengan membai’at Khalifah, mendo’akannya di
mimbar-mimbar masjid pada saat shalat Jum’at atau hari-hari raya,
mencetak mata uang atas nama Khalifah, dan hal-hal formalitas lainnya.
Sementara itu, urusan pemerintahan secara riil ada di tangan mereka.
Kenyataan ini menyebabkan wilayah-wilayah ini menjadi seperti
negara-negara yang berdiri sendiri, yang sebenarnya tidaklah demikian.
Inilah yang dapat menerangkan keberadaan kekuasaan Hamdaniyyin,
Saljuqiyyin, dan yang lainnya, yang terkadang dipahami –secara kurang
tepat– oleh sebagian penulis sejarah sebagai negara-negara Islam yang
independen (Lihat Taqiyuddin An Nabhani, Daulah Islamiyah, cet. 2, hal.
103. Lihat juga Dr. Abdul Halim ‘Uwais, Dirasah Li Suquthi Tsalatsina
Daulah Islamiyah, Darusy Syuruq, Saudi Arabia, 1982)
Sesungguhnya kekuasaan umum (al wilaayah al ‘aammah) tidak
berpengaruh terhadap kesatuan negara. Hal ini pernah terjadi pada
shahabat Amr bin Al ‘Ash yang memiliki wilayah kekuasaan umum di Mesir,
atau Mu’awiyah bin Abi Sofyan yang juga memiliki kekuasaan umum di
Syam. Meskipun demikian, pada saat itu mereka sebagai Wali tidak
berdiri sendiri atau memisahkan diri dari Khalifah sedikit pun.
Kesatuan negara tetap terjaga karena kuatnya kepemimpinan para Khalifah.
Tetapi tatkala kepemimpinan para Khalifah lemah dan para Wali
membiarkan hal ini, muncullah penampakan adanya negara di wilayah,
meskipun sesungguhnya wilayah ini masih berada di bawah teritori
Khilafah dan menjadi bagian integral darinya. Negara Khilafah tetap
merupakan satu kesatuan dan tidak pernah berubah menjadi semacam
“federasi wilayah”, sebab Khalifah-lah yang mengangkat dan
memberhentikan para Wali. Mereka tidak berani untuk tidak mengakui
kepemimpinan Khalifah, bagaimana pun juga kuatnya kepemimpinan mereka.
Dengan demikian, negara Khilafah tetap merupakan satu kesatuan
dengan seorang Khalifah yang satu. Dialah yang memegang segala
kewenangan kenegaraan di setiap bagian teritori negara, di pusat (ibu
kota), di berbagai wilayah, kota, dan desa. (Lihat Taqiyuddin An
Nabhani, Daulah Islamiyah, cet. 2, hal. 104)
Adapun peristiwa sejarah yang menunjukkan adanya Khilafah di
Andalusia dan munculnya Khilafah golongan Fathimiyin di Mesir,
dimensinya berbeda dengan dimensi menonjolnya kekuatan wilayah seperti
telah diterangkan. Saat itu Andalusia telah dikuasai oleh para Wali
yang melepaskan diri dari pusat Khilafah. Namun demikian, Wali yang ada
di sana tidak dibai’at sebagai Khalifah untuk kaum muslimin, tetapi
–seperti disebut-sebut kemudian– sebagai Khalifah untuk penduduk
Andalusia saja, bukan untuk seluruh kaum muslimin. Wilayah Andalusia
menganggap dirinya sebagai wilayah yang tidak masuk dalam teritori
Khilafah, mirip dengan kondisi yang ada di Iran pada masa Daulah
Utsmaniyah Dengan demikian, Khalifah bagi seluruh kaum muslimin tetap
satu dan tetap memegang kekuasaan umum bagi mereka. Dengan kata lain,
di Andalusia sebenarnya tidak muncul Khalifah kedua. Yang terjadi
adalah munculnya satu wilayah yang tidak masuk dalam teritori Khilafah.
Sedangkan munculnya Khilafah golongan Fathimiyin di Mesir,
sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai Khilafah kedua dalam tubuh
umat Islam. Fakta yang terjadi saat itu, adalah adanya upaya untuk
memindahkan kekuasaan Khilafah kepada Ahlul Bait, sesuai dengan
pemahaman Islami yang mereka adopsi, bahwa Khilafah harus dipegang oleh
Ahlul Bait. Peristiwa ini sangat mirip dengan apa yang dilakukan oleh
golongan ‘Abbasiyin tatkala mereka mengambil kekuasaan dari golongan
Umawiyin. Seperti diketahui, golongan ‘Abbasiyin telah membangun
pengaruh mereka di Persia dan Irak, lalu membai’at Khalifah dan
meruntuhkan Khilafah Umawiyin. Demikian pula halnya dengan Khilafah
Fathimiyin. Mereka membai’at seorang Khalifah untuk memindahkan
kekuasaan Khilafah kepada golongan mereka saja (Ahlul Bait) hingga
waktu tertentu saat berakhirnya kekuasaan mereka, sementara Khilafah
Abbasiyin masih tetap ada dan terus bertahan. Maka dari itu, berdirinya
Khilafah golongan Fathimiyin di Mesir bukan merupakan Khilafah kedua di
tubuh umat (setelah adanya Khilafah Abbasiyin di Baghdad), melainkan
hanya upaya untuk memindahkan kekuasaan Khilafah dari satu golongan ke
golongan lain. (Lihat Taqiyuddin An Nabhani, Daulah Islamiyah, cet. 2,
hal. 104)
Jelaslah, negara Islam (Khilafah) dalam sejarahnya tetap merupakan
satu kesatuan, tak pernah terpecah-belah menjadi beberapa negara. Yang
terjadi adalah usaha-usaha untuk memperoleh kekuasaan sesuai dengan
persepsi Islami tertentu mengenai pemerintahan, kemudian usaha ini
berakhir, sementara Khilafah terus eksis dan tetap satu. Di antara
bukti yang menunjukkan bahwa Khilafah merupakan satu kesatuan, adalah
adanya keleluasaan berpindah dan bepergian bagi kaum muslimin dari satu
negeri ke negeri Islam lain. Seorang muslim yang bepergian melintasi
beberapa negeri Islam tak pernah ditanya dari mana asalnya seperti
orang asing, atau dimintai izin pindah dan izin tinggal. Sebab,
negeri-negeri Islam adalah satu, di bawah Khilafah Islamiyah yang satu.
Kondisi seperti ini tetap berlangsung sepanjang sejarah Islam,
hingga akhirnya kaum penjajah yang kafir menghancurkan Khilafah
Utsmaniyah di Turki tahun 1924 M melalui agennya Musthofa Kamal
Attaturk yang murtad. Sejak itu nasib kaum muslimin menjadi terpuruk
hingga taraf yang terendah, terlunta-lunta, ternista, dan terhina dalam
belenggu ide nasionalisme dan patriotisme yang batil, yang sengaja
disebarluaskan oleh imperialis Barat sebagai racun untuk membunuh
hasrat bersatu kaum muslimin sebagai umat Islam, sekaligus untuk
melestarikan perpecahan umat Islam agar dapat terus dijajah,
dieksploitir, dan dikendalikan oleh imperialis Barat yang kafir.
Penutup : Wajib Mengembalikan Kesatuan Umat
Secara umum dapat dinyatakan bahwa umat Islam dalam sejarahnya selalu
hidup dalam satu kesatuan, yakni hidup dalam satu institusi, satu
negara, di bawah kepemimpinan seorang pemimpin (Khalifah/Imam).
Hal tersebut merupakan suatu kewajiban atas kaum muslimin
–sebagaimana kewajiban sholat, shaum, dan jihad— sesuai firman Allah
SWT:
“
Dan berpeganglah kalian semuanya dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai…” (
QS Ali ‘Imraan : 103)
Rasulullah SAW dalam masalah ini bersabda :
“
Barangsiapa mendatangi kalian — sedang urusan (kehidupan)
kalian ada di bawah kepemimpinan satu orang (Imam/Khalifah)– dan dia
hendak memecah belah kesatuan kalian dan mencerai-beraikan jamaah
kalian, maka bunuhlah dia!” (
HR. Muslim)
Dalil-dalil di atas menegaskan adanya kewajiban bersatu bagi kaum
muslimin atas dasar Islam (hablullah) –bukan atas dasar kebangsaan atau
ikatan palsu ainnya—di bawah satu kepemimpinan, yaitu seorang Khalifah.
Dalil-dalil di atas juga menegaskan keharaman berpecah-belah dan
bercerai-berai. Barangsiapa yang berupaya untuk memecah-belah umat
Islam menjadi beberapa negara, maka sanksi syar’i baginya adalah jelas
dan tegas : hukuman mati !
Di samping Al Qur`an dan As Sunnah, Ijma’ Shahabat pun menegaskan
pula prinsip kesatuan umat di bawah kepemimpinan seorang Khalifah. Abu
Bakar Ash Shiddiq pernah berkata,”Tidak halal kaum muslimin mempunyai
dua pemimpin (Imam).” Perkataan didengar oleh para shahabat dan tidak
mereka ingkari, sehingga menjadi ijma’di kalangan mereka .
Bahkan sebagian fuqoha menggunakan Qiyas –sumber hukum keempat—untuk
menetapkan prinsip kesatuan umat. Imam Al Juwaini berkata,”Para ulama
kami (madzhab Syafi’i) tidak membenarkan akad Imamah (Khilafah) untuk
dua orang…Kalau terjadi akad Khilafah untuk dua orang, itu sama halnya
dengan wali yang menikahkan seorang perempuan dengan dua orang
laki-laki!”
Artinya, Imam Juwaini mengqiyaskan keharaman adanya dua Imam bagi
kaum muslimin, sebagaimana keharaman wali menikahkan seorang perempuan
dengan dua orang lelaki yang akan menjadi suaminya.Dengan kata lain,
Imam/Khalifah untuk kaum muslimin wajib hanya satu, sebagaimana wali
hanya boleh menikahkan seorang perempuan dengan satu orang laki-laki.
(Lihat Dr, Muhammad Khair, Wahdatul Muslimin fi Asy Syai’ah Al
Islamiyah, majalah Al Wa’ie, hal. 6-13, no. 134, Rabi’ul Awal 1419
H/Juli 1998 M)
Jelas bahwa kesatuan umat adalah satu kewajiban kaum muslimin yang
harus mereka wujudkan. Jika mereka lalai mewujudkannya, mereka akan
memikul dosa besar di hadapan Allah pada Hari Kiamat nanti. Karena itu,
kaum muslimin wajib berjuang demi terwujudnya kesatuan umat di bawah
naungan negara Khilafah, seperti yang pernah terjadi dalam sejarah umat
Islam tempo dulu.
Dengan berjuang secara ikhlas dan bersungguh-sungguh, Insya Allah, cita-cita ini akan tercapai, sesuai janji Allah SWT :
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara
kalian dan mengerjakan amal-amal yang shaleh, bahwa Dia sungguh-sungguh
akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah
menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa…” (QS An Nuur :
55). [
Muhammad Shiddiq Al Jawi]
sumber:
http://www.gaulislam.com/kilas-balik-fakta-persatuan-umat-islam-tempo-dulu